opini

Cuma 2,5 Juta Hektar Mangrove yang Baik

Desa Bangkoor-Nebe, Kecamatan Talibura sedang sedang menanam bakau di Pantura Sikka-Flores. Masyarakat dibiasakan menanam bakau untuk kelestarian mangrove di wilayah tersebut.


DARI 9,3 juta hektar hamparan mangrove di Indonesia, ternyata kini hanya tersisa 2,5 juta hektar mangrove yang berkondisi baik. Tantangan terhadap keberadaan mangrove, di antaranya adalah pembukaan tambak udang maupun ikan.

Dibutuhkan koordinasi antar instansi dan penyadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove. Bila tidak, masyarakat akan cenderung menebangi vegetasi mangrove untuk kepentingan ekonomi sesaat, tapi segera diterjang oleh bencana akibat menghilangnya mangrove.

Demikian dikatakan oleh Sasmitohadi, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, akhir pekan lalu di Pusat Informasi Mangrove di Suwung Kauh, Denpasar. Sasmitohadi berbicara di hadapan peserta International Training on Integrated Water Resources Management (IWRM).

IWRM sendiri pun, diinisiasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), SIDA, Stockholm International Water Institute, dan lembaga RAMBOLL.
"Kami sama sekali tidak melarang aktivitas ekonomi di pantai seperti tambak. Namun sebenarnya, tambak juga dapat diintegrasikan dengan mangrove. Caranya, dengan menanam pada pematang tambak," kata Sasmitohadi.

"Mangrove sendiri pun, juga bernilai ekonomis. Kayu dari tanaman mangrove dapat dimanfaatkan bagi bahan baku bangunan, perahu, kayu bakar dan arang. Ada komunitas masyarakat di Alas Purwo, di Banyuwangi sedang kami bantu untuk membiakkan lebah madu di kawasan mangrove," ujar dia.

Keberadaan mangrove, sesungguhnya juga kian penting utamanya di kota-kota besar berpenduduk padat karena mencegah intrusi air laut. Belum lagi, keterkaitan dengan upaya-upaya meredam global warming.

Belum Terintegrasi
Dalam konteks integrasi antarsektor di Indonesia, ternyata penanaman dan penanganan mangrove belum dilakukan dengan baik. Dukungan terhadap Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, masih minim.

Beberapa waktu lalu, sampah yang dikumpulkan di Mangrove Information Center saja, dapat mencapai delapan truk sehari. Nah, kini sudah turun menjadi satu truk sehari. Tapi pekerjaan kami kan sebenarnya bukan untuk membersihkan sampah, dikeluhk an oleh Sasmitohadi.

Balai Pengelolaan Hutan Mangrove di Sanur, memang kekurangan sumber daya baik manusia maupun dana, katakanlah untuk mengembangkan bibit mangrove . Padahal, wilayah  jangkauannya sangat luas, yakni lebih dari separuh kepulauan di Indonesia. (ant)



Kerusakan Mangrove di NTT 9.989 Ha

HASIL survei Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur bersama Universitas Nusa Cendana (Undana) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1995 berhasil mengindentifikasikan 11 spesies mangrove di Pulau Timor, Rote, Sabu dan Semau. Sedangkan hasil paduserasi TGHK (Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan) dan RTRWP (Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi) hutan mangrove di Nusa Tenggara Timur terdapat kurang lebih 9 famili yang terbagi dalam 15 spesies antara lain: bakau Genjah (Rizophora mucronata), bakau Kecil (Rizophora apiculata), bakau Tancang (Bruguera spp), bakau Api-api (Avecinnia spp), bakau Jambok (Xylocorpus spp), bakau Bintaro (Cerbera mangkas), bakau Wande(Hibiscus tiliacues) dan lain-lain.

Luas hutan mangrove di propinsi Nusa Tenggara Timur adalah 40.695 Ha atau 2.25 persen dari luas kawasan hutan. Dan, Kerusakan hutan mangrove di NTT tercatat kurang lebih 9.989 Ha dalam kondisi rusak berat sedangkan rusak ringan seluas 8.453 Ha.

Samantafoundation.org menyebutkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh tiga lembaga (Dishut, UNDANA dan IPB) bahwa potensi mangrove di Nusa Tenggara Timur cukup besar karena di NTT, hutan mangrove dapat ditemukan dan tersebar di perairan NTT. Bahkan ekosistem ini pada beberapa lokasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya. Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak di pulau-pulau besar di Indonesia, ini disebabkan karena kondisi alam di NTT yang membatasi pertumbuhan mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga pertumbuhan mangrove yang ada sangat tipis.

Dibeberapa lokasi mangrove dapat tumbuh dengan baik karena didukung oleh muara sungai besar dengan sedimentasi yang cukup tinggi seperti di muara sungai Benenain di Kabupaten Belu dan muara sungai Noelmina di kabupaten Kupang.

Dari 40.695 Ha luas hutan mangrove di NTT ini sudah banyak yang mengalami tekanan yang cukup besar diantaranya sebagai akibat penebangan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar dan lain-lain. (samantafoundation.org)





Pertahankan Sumber Pangan Lokal
Krisis Pangan

POTENSI sumber pangan dari Indonesia beragam tersebar di berbagai daerah. Untuk bahan pokok sumber karbohidrat saja misalnya ada padi dengan aneka varietasnya, sagu, singkong, dan sebagainya. Tapi, kenapa masalah pangan dan malnutrisi masih sering terjadi?

Menurut Dr Arzyana Sunkar, peneliti masalah pangan dan etnobotani dari Institut Pertanian Bogor (IPB), hal tersebut karena belum adanya cara pandang yang benar mengenai pemenuhan kebutuhan pangan. Sehingga sumber bahan pangan yang variatif malah sering tidak dilirik padahal punya kandungan gizi yang tinggi.

"Situasi dan kondisi pangan di Indonesia saat ini masih tergantung kepada beberapa komoditi saja seperti sumber karbohidrat dengan nasi dan gandum, sumber protein dan vitamin yang terbatas, kurangnya ketersediaan benih lokal berkualitas untuk para petani, dan turunnya kualitas tanah karena eksploitasi berlebihan," kata Dr Arzyana Sunkar dalam simposium internasional Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC) 2010 di Bali, Selasa (20/7/2010).

Ia mengatakan saat menghadapi potensi krisis pangan seringkali pemerintah dan masyarakat terlalu berharap sumber pangan dari luar, padahal sumber daya lokal tersedia.

Menurutnya, sumber pangan terbaik adalah yang berasal dari sekitar tempat tinggal manusia karena paling mudah beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Misalnya sagu untuk orang papua, singkong untuk orang Gunung Kidul.

"Bukan berarti orang Papua tidak boleh makan nasi, namun alangkah lebih biak jika makanan lokal seperti sagu tidak ditinggalkan. Perlu menghidupkan kembali rediversifikasi pangan di kalangan masyarakat," ujar Arzyana Sunkar.

Selain bagus untuk ketahanan pangan dalam janga panjang, manusia yang mengonsumsi sumber makanan yang variatif secara genetis juga lebih baik.

Meski demikian, hal terpenting dalam pemenuhan kebutuhan pangan adalah keseimbangan gizi agar tidak terjadi malnutrisi. Menurutnya perlu sosialisasi yang benar kepada masyarakat gara paham bagaimana pola konsumsinya.

Misalnya, dari sisi karbohidrat, nasi kalah sama sagu atau singkong, tapi proteinnya lebih banyak. Sagu yang karbohidrat tinggi tapi proteinnya rendah harus dikonsumsi dengan pelengkapnya seperti ulat sagu yang juga sudah menjadi kebiasaan masyarakat Papua. Ubi jalar bermanfaat karena punya kandungan karbohidrat tinggi sehingga baik untuk menghangatkan tubuh buat masyarakat di pegunungan seperti di Wamena.

Gaplek juga berguna buat masyarakat Gunung Kidul karena sumbernya lokal sehingga tidak terpengaruh harga komoditas lainnya.

Menurut Arzyna Sunkar, langkah paling bijak adalah mengajak masyarakat kembali mencintai bahan pangan lokal karena merekalah yang akan mempertahankan sumber daya tersebut. Jadi, ayo kembali ke bahan pangan lokal demi masa depan.
(kompas.com)

Perubahan Iklim Pengaruhi Pola Tanam

PERUBAHAN iklim yang terjadi akibat pemanasan global, sangat berpengaruh terhadap pola tanam petani sehingga memicu terjadinya gagal tanam dan gagal panen, kata seorang pengamat agribisnis Ir Leta Rafael Levis M.Rur.Mnt di Kupang, Rabu.

"Fenomena inilah yang harus dianalisa dengan baik oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kemudian menyampaikan kepada para petani agar tidak keliru dalam menterjemahkan musim tanam," kata Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu.

Leta Rafael mengatakan fenomena perubahan iklim tersebut berpengaruh besar terhadap usaha pertanian lahan kering di Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana hingga Juli 2010 masih juga turun hujan yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah NTT.

Menurut hasil laporan dan analisis Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT hingga posisi Juni 2010, tercatat sekitar 1.481 desa di wilayah provinsi kepulauan ini mengalami kekeringan akibat perubahan dan penyimpangan iklim.

Jumlah desa dengan tingkat risiko rawan pangan ringan tercatat sebanyak 400 desa, risiko sedang sebanyak 335 desa dan desa risiko tinggi sebanyak 746 desa.

Leta Rafael yang juga Ketua Komisi Penyuluhan Provinsi NTT ini mengatakan kondisi ini tidak akan terjadi jika sejak awal pihak pemerintah berkoordinasi dengan BMKG untuk memberikan infomrasi terkait iklim dan perubahannya. 

"Dengan demikian, para petani kita bisa tahu kapan harus menanam dan kapan tidak boleh menanam dengan alasan-alasan berdasarkan analisa iklim yang dikeluarkan BMKG," katanya.

Akibat minimnya informasi iklim dan perubahannya itu menyebabkan para petani tetap mempertahankan pola konvensional dengan mulai menanam pada bulan November setiap tahun, dengan asumsi pada April musim kemarau sudah tiba, katanya.

Pada kenyataannya, kata dia, hingga Juli 2010 masih turun hujan meskipun dalam intensitas ringan, namun hal ini cukup membingungkan para petani tadah hujan. Ia mengharapkan BMKG lebih berperan lagi dalam menganalisa iklim dan perubahannya agar tidak lagi mengorbankan para petani yang sudah terpola dengan membuka musim tanam pada setiap November tahun berjalan.(ant)