Jumat, 17 Desember 2010

RI-Timor Leste Longgar, Kriminal Marak

Seorang warga eks Timor Timur sedang bersusaha tenangkan massa di halaman Gedung DPRD Belu, NTT. Masa berunjuk rasa menuntut dana kesejaheteraan bagi warga eks pengungsi

Atambua, MM -Pemberlakuan pas lintas batas antara masyarakat perbatasan Republik Indonesia dan perbatasan Timor Leste perlu diwaspadai. Dikhawatirkan, peredaran minuman keras, narkoba, pelanggaran proses perdagangan, dan pekerja hiburan malam akan semakin marak.
Miras tradisional yang disebut sophi atau arak mudah dijangkau masyarakat kelas bawah. Minuman dari Timor Leste atau vine Portugal saat ini juga beredar luas di masyarakat perbatasan kedua negara. Belum lagi jenis miras dari Indonesia.
Narkoba pun akan leluasa beredar di wilayah perbatasan. Pihak-pihak tertentu akan menggunakan jasa masyarakat perbatasan untuk berbisnis narkoba.
Koordinator Pemantau Forum Peduli Masyarakat Belu Yunius Koi Asa di Atambua mengatakan, biasanya setiap pertemuan di antara kedua kelompok masyarakat perbatasan selalu ditandai dengan meneguk miras atau lazim disebut “air kata-kata”.
Mereka sering duduk bersama di pinggir pasar tradisional, kebun, ladang, atau  rumah penduduk untuk meneguk miras sambil bercerita.
Tema yang dibahas antara lain persoalan rumah tangga, adat istiadat, anak-anak, mas kawin, urusan sambut baru, pendidikan, perkawinan, pembangunan rumah, ternak peliharaan, dan hasil panen.
Ini biasa dibicarakan para orang tua, usia di atas 50 tahun dengan pendidikan rata-rata hanya sekolah dasar atau tidak tamat sekolah dasar. Warga usia 15-40 tahun membicarakan masalah pendidikan, politik, sosial kemasyarakatan, dan sedikit menyinggung masalah status politik warga eks Timor Timur di perbatasan RI.
Kelompok usia ini patut diwaspadai. Emosi mereka sangat labil, apalagi dipicu dengan dendam sejarah masa lalu.
“Saya minta pengamanan di pos pintu masuk diperketat. Bila perlu menggunakan detektor seperti di bandara. Ini untuk mendeteksi miras, narkoba, dan senjata api atau rakitan,” katanya.
Putra Belu ini menilai pemberlakuan PLB tidak banyak membawa perubahan di kalangan masyarakat kedua negara. Pihak yang mencari keuntungan di balik ini adalah pengusaha, pedagang, dan pebisnis.
Mereka akan menggunakan warga perbatasan, pemilik PLB, untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin guna meningkatkan bisnis mereka. Pengusaha Dili, misalnya, menggunakan warga perbatasan Timor Leste membeli bahan pokok, elektronik, dan seterusnya kemudian ditimbun di Batugade, lalu diangkut ke Dili.
Marques da Costa, salah satu warga eks Timtim di Motaain, Tasifeto Timur, Belu, dihubungi per telepon mengatakan puas dengan pemberlakuan PLB ini. Selama ini ia bersama keluarga sering kesulitan berkunjung ke anggota keluarga di Batugade.
“Soal miras memang benar. Orang Timtim kalau tidak punya pekerjaan tetap, miras sebagai pilihan untuk menghibur diri. Tetapi, saya harap pemerintah kedua negara bisa mengantisipasi peredaran miras ini,” katanya.
Ia juga mengingatkan aparat keamanan RI di perbatasan akan masuknya warga Timor Leste yang ingin mencari hiburan malam di Atambua dan sekitarnya seperti lokalisasi, bar, dan karaoke. Jasa para pekerja di tempat ini jauh lebih murah dibandingkan di Timor Leste.
Tokoh pejuang intgerasi Timtim ke dalam NKRI ini menegaskan, biasanya miras beredar marak di pusat-pusat hiburan tersebut. Bukan hanya itu, narkoba pun dengan mudah beredar di perbatasan kedua negara.
“Saya menduga, ketika perlintasan ini mulai marak, banyak perempuan pekerja jasa hiburan malam dari Kupang, Surabaya, dan Sulawesi akan berdatangan ke Belu, terutama di pasar-pasar perbatasan kedua negara. Ini patut diwaspadai,” katanya.
Kepala Kepolisian Resor Belu Ajun Komisaris Besar Sugeng Kurniaji mengatakan, aparat Polres Belu sudah mengantisipasi kemungkinan dari penerapan PLB ini. Kegiatan intelijen di perbatasan, terutama titik pertemuan kedua kelompok masyarakat, akan ditingkatkan.
“Hanya kecamatan yang disetujui kedua negara menjadi perhatian serius aparat, seperti Kecamatan Tasifeto Timur. Di kecamatan ini warga Timor Leste bebas masuk-keluar dengan menggunakan PLB tadi. Namun, mereka tidak diperkenankan masuk Atambua dengan PLB, tetapi harus menggunakan paspor,” kata Kurniaji.
Ia memprediksi, jumlah warga Timor Leste melintas ke perbatasan meningkat setelah diberlakukan PLB. Tujuan utama, berbelanja kebutuhan pokok untuk kebutuhan sehari-hari, dan mengikuti upacara adat atau keagamaan.
Sementara kehadiran warga eks Timtim di Batugade dan sekitarnya tidak banyak. Harga kebutuhan pokok di daerah itu sangat tinggi. Rokok, misalnya, dijual dengan harga 5 dollar AS, sementara di Indonesia dijual dengan harga Rp 15.000 per bungkus.
“Kalau 401 warga eks Timtim yang masuk dalam daftar pelaku tindak kriminal berat oleh PBB dilarang masuk ke perbatasan Timor Leste. Tetapi, warga eks Timtim lain tetap diberi kesempatan masuk keluar Timor Leste seperti biasa,” katanya.(kom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar